Di suatu fajar, di awal Juli.
Dalam
sebuah perjalan dari Lampung menuju Serang, aku hanya berdua Ayah baru saja menaiki kapal yang akan mengantarkan kami
berpindah pulau dari Sumatera menuju Jawa. Dikarenakan saat itu, Bunda dan Adik-adik ku yang lain masih menetap di Lampung untuk beberapa hari ke depan. Sedangkan, Aak dan istrinya tahun ini untuk pertama kalinya merasakan suasana lebaran Idul Fitri di kampung orang yaitu Papua.
Setelah kami memarkirkan mobil di posisi yang telah diarahkan oleh crew kapal, kami segera menuju ke tempat peristirahatan yang telah disediakan. Karena, waktu menyebrang selat sunda cukup memakan waktu yang lama, sekitar 3-4 jam. Dan aku sangat bersyukur, kapal yang kami tumpangi menyediakan tempat peristirahatan yang nyaman, dengan view yang menakjubkan. Lalu kami memilih tempat yang cukup strategis, dekat dengan kantin dan jendela, karena saat itu kami belum sarapan dan ingin melihat view laut yang menenangkan.
Setelah kami memarkirkan mobil di posisi yang telah diarahkan oleh crew kapal, kami segera menuju ke tempat peristirahatan yang telah disediakan. Karena, waktu menyebrang selat sunda cukup memakan waktu yang lama, sekitar 3-4 jam. Dan aku sangat bersyukur, kapal yang kami tumpangi menyediakan tempat peristirahatan yang nyaman, dengan view yang menakjubkan. Lalu kami memilih tempat yang cukup strategis, dekat dengan kantin dan jendela, karena saat itu kami belum sarapan dan ingin melihat view laut yang menenangkan.
Tanpa
menunggu waktu lama, aku dan Ayah memesan makanan di kantin tersebut. Lalu
pesanan kami pun tiba yaitu pop
mie hangat yang asapnya pun masih mengepul dan
melebur bersama aroma fajar. Sembari menunggu makanan kami siap dimakan
karena
masih proses menunggu mienya matang sempurna, tiba-tiba saja aku membuka
obrolan bersama Ayah dengan topik yang cukup berat. Tanpa ada rencana
atau persiapan apapun, pertanyaan itu mengalir saja. Mungkin karena
suasana fajar saat itu sedang syahdu dan bawa suasana yang khusyuk untuk
membahas hal-hal yang serius.
W:
Ayah, menurut Ayah, apa hal yang membuat seseorang bahagia akan hidupnya? Dan,
Ayah sudah cukup bahagia belum dengan hidup Ayah?
A: Loh, kenapa tiba-tiba Abang nanya gitu?
W: Gak papa Yah, mau nanya aja, hehehe. ((Sambil mengaduk mie))
A: Hmmm, apa yang membuat seseorang bahagia? Kalo menurut Ayah, hal yang membuat seseorang bahagia itu sederhana, yaitu bersyukur.
W: Sesimpel itu Yah?
A: Eh, jangan motong dulu dong, kan Ayah belum kasih penjelasannya. Iya, sesimpel itu Bang, kita akan bahagia ketika kita bisa bersyukur, bukan karena bisa jadi kepala dinas, atau bisa punya mobil mewah, atau rumah megah, bukan, bukan soal itu. Karena ukuran itu bersifat relatif. Contohnya, kamu lihat kapal feri dan sampan di laut itu ga Bang? Nah filosofinya mirip seperti itu. Penumpang kapal feri pasti merasa kapalnya lebih besar dari sampan. Tapi dia tidak sadar kalau kapal dia terlihat kecil oleh kita karena kita melihatnya dari kejauhan. Lihat kan? Besar dan kecil itu bersifat relatif, Bang. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Jadi kalau ukuran selalu jadi patokan kebahagiaan, kita tidak akan pernah merasa bahagia, karena kita pasti akan selalu merasa kurang. Tapi kebahagiaan justru akan kita diperoleh ketika kita sudah mengerahkan seluruh usaha kita dengan maksimal dalam hidup untuk urusan duniawi maupun akhirat, lalu bersyukur atas apapun hasilnya yang kita dapat saat ini. Ingat ya, untuk urusan duniawi maupun akhirat. Jangan dunia aja yang diusahain, akhiratnya juga jangan lupa. Itu menurut Ayah definisi kebahagiaan.
W:((Terdiam, sembari meresapi makna kalimat Ayah tiap kata-katanya))
A: Eh udah, ayo makan dulu mienya, keburu lodoh.
Lalu,
aku dan Ayah asyik menikmati mie yang sudah matang, diiringi suara sruputan mie
dari mulut kami masing-masing. Beberapa menit kemudian, aku ingat sesuatu.
W:
Eh iya yah, ada satu lagi pertanyaan yang belum Ayah jawab, apakah Ayah sudah
bahagia dengan hidup Ayah sekarang?
A: Dengan yakin Ayah berani bilang ke kamu bahwa Ayah udah bahagia dengan hidup Ayah sekarang. Ayah bahagia punya anak-anak yang penurut, berbakti, serta sholeh dan sholehah kayak kalian. Ayah bahagia anak-anak laki Ayah udah kerja semua, bahkan ada satu yang udah nikah. Ayah bahagia punya istri kayak Bunda yang sabar, bisa didik kalian dengan baik dan baktinya ke Ayah tak perlu ditanyakan lagi. Ayah bahagia bisa berbakti maksimal dengan Ibu Ayah karena bisa pindah kerja dulu dari Lampung ke Serang. Ayah bahagia punya rumah yang meskipun ga megah tapi tetap bisa menghadirkan kenyamanan, kehangatan, dan kasih sayang untuk penghuninya yaitu kita. Ayah bahagia dengan jabatan Ayah sekarang yang meskipun ga kesampean naik eselon 3, tapi inshaa Allah Ayah bawa rezeki yang halal ke rumah.
Tapi, meskipun Ayah sudah sangat bahagia sekarang karena bersyukur akan semua hal yang telah terjadi pada diri Ayah. Ayah tetap masih berusaha agar kehidupan Ayah lebih bahagia lagi.
W: Contohnya yah?
A: Contohnya, Ayah masih suka marahin kamu kalo kamu masih males buat sholat jama'ah di masjid, itu salah satu usaha Ayah agar bisa lebih bahagia lagi. Hahaha ((Tertawa dengan nada menyindir))
W: Eh iya maafin Abang yah masih suka males sholat jama'ah di masjid. Makasih yah masih diingatkan. Ayah memang terbaik! ((Sembari malu, ada rasa bangga menyelinap di hati karena punya sosok Ayah yang memiliki definisi bahagia yang menakjubkan dan senantiasa menyisipkan tentang akhirat disetiap urusannya))
Lalu,
percakapan berat pagi itu ditutup dengan kegiatan merapikan wadah pop mie yang
telah selesai kami lahap hingga tuntas.
Selat
Sunda, 1 Juli 2017.
-W-
-W-
Beautifully described the theme of the post and making a moral story into a biography. Well done indeed. Your posts are amazing and inspiring as well.
BalasHapus